I. PENDAHULUAN
Penduduk
Indonesia pada 2015 diperkirakan mencapai 256 juta jiwa, dan dibutuhkan beras
sebesar 34 juta ton dengan asumsi konsumsi 134 kg/kapita/tahun. Untuk tahun
2011, sasaran produksi padi sebanyak 70,6 juta ton gabah kering giling (GKG)
atau setara dengan 40 juta ton beras. Selain beras, pada tahun 2011 ini juga
dibutuhkan komoditas pangan lain yaitu jagung, kedelai dan ubikayu
masing-masing sebanyak 22 juta ton, 1,56 juta ton, dan 23,4 juta ton. Untuk padi,
pada tahun 2011 terjadi peningkatan sasaran produksi sebesar 4,62 juta ton GKG
atau 6% dibandingkan sasaran tahun 2010. Demikian juga untuk jagung, kedelai
dan ubikayu terjadi peningkatan sasaran produksi masing-masing sebesar 11%, 20%
dan 5% dibandingkan sasaran tahun 2010 (Sek. Ditjen Tanaman Pangan, 2011).
Ekofarming atau
sistem pertanian ramah
lingkungan dan berkelanjutan merupakan suatu
cara bertani yang
mengandalkan pada berimbangnya
siklus- siklus yang berlangsung di dalam sebuah ekosistem. Dalam sistem
ini penggunaan input kimiawi sangat
dibatasi atau tidak
digunakan sama sekali.
Terjadinya penurunan kualitas
lingkungan dan pencemaran
terhadap produk-produk yang dihasilkan akibat penggunaan bahan kimia secara
berlebihan terjadi karena kurangnya
informasi yang dimiliki petani tentang cara bercocok tanam yang benar dan
berkelanjutan. Petani belum mengetahui cara mengidentifikasi kekuatan
dan kelemahan dari
ekosistem yang ada
dilahan pertanian mereka. Akibatnya
banyak komponen lingkungan
yang bermanfaat tanpa sengaja
justru dibuang sementara
komponen yang berbahaya
justru dipertahankan.
Menurut
Ishaq, dkk., (2009) yang dimaksud dengan pengelolaan tanaman terpadu (PTT)
adalah pendekatan dalam upaya mengelola lahan, air, tanaman, organisme
pengganggu tanaman (OPT) dan iklim secara terpadu/ menyeluruh/holistik dan
dapat diterapkan secara lumintu (berkelanjutan). Selanjutnya PTT dapat
diilustrasikan sebagai sistem pengelolaan yang menggabungkan berbagai sub
sistem pengelolaan, seperti sub sistem pengelolaan hara tanaman, konservasi
tanah dan air, bahan organik dan organisme tanah, tanaman (benih, varietas,
bibit, populasi tanaman dan jarak tanam), pengendalian hama dan
penyakit/organisme pengganggu tanaman, dan sumberdaya manusia.
Pelaksanaan
PTT terdapat 2 (dua) komponen teknologi yang dapat diterapkan oleh petani,
yaitu komponen teknologi dasar dan komponen teknologi penunjang. Komponen
teknologi dasar merupakan komponen yang memiliki peranan penting dalam
peningkatan hasil. Komponen ini sangat dianjurkan untuk diterapkan semua.
Termasuk ke dalam komponen teknologi dasar yaitu: 1) Varietas unggul baru; 2)
Benih bermutu dan berlabel; 3) Peningkatan populasi tanaman dengan sistem tanam
jajar legowo; 4) Pemupukan berimbang tepat lokasi; 5) Pengendalian OPT melalui
PHT; 6) Pemberian pupuk organik. Sedangkan komponen teknologi penunjang
merupakan komponen yang memiliki peranan dalam mendukung dan memantapkan
penerapan komponen teknologi dasar.
Berdasar
keadaan hal tersebut di atas maka peningkatan produksi pangan, khususnya beras
sangat penting untuk ditingkat guna mengatasi terjadinya kekurangan pangan.
Peningkatan produksi padi dapat dilakukan dengan ekstensifikasi dan intensifikasi.
Peningkatan produksi dengan cara ekstensifikasi yaitu melalui penambahan luas
areal tanam, sedangkan peningkatan produksi dengan intensifikasi yaitu
peningkatan produksi melalui pemeliharaan tanaman yang lebih intensif.
Peningkatan produksi padi secara intensifikasi pada saat sekarang dilakukan
dengan Program Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT).
Rumusan
masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan?
2. Apa
saja komponen pengolahan tanaman terpadu (PTT) yang dapat diterapkan pada budidaya
tanaman padi sawah yang berbasic ramah lingkungan dan berkelanjutan?
Tujuan
dan manfaat
Adapun tujuan dari
pembuatan makalah ini adalah:
1. Untuk
mengetahui sistem pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
2. Untuk mengetahui
komponen – komponen dalam pengolahan tanaman terpadu (PTT) yang dapat
diterapkan pada budidaya tanaman padi sawah yang berbasic ramah lingkungan dan
berkelanjutan.
1.
Memberikan informasi
tentang sistem pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
2.
Memberikan informasi
komponen – komponen dalam pegolahan tanaman terpadu (PTT) yang dapat diterapkan
pada budidaya tanaman padi sawah yang berbasic ramah lingkungan dan berkelanjutan.
II. TINJAUAN
PUSTAKA
Produktivitas
Hasil Padi Di Indonesia
Usahatani padi di Indonesia masih
menjadi tulang punggung perekonomian pedesaan. Pengadaan produksi beras dalam
negri sangat penting dalam rangka keberlanjutan ketahanan pangan nasional
dengan sasaran tercapainya swasembada pangan (Jumakir, dkk, 2012). Beras
merupakan komoditas pertanian yang bernilai strategis, hal ini berkaitan dengan
kenyataan bahwa beras merupakan makanan pokok hampir seluruh penduduk
Indonesia.Kebutuhan bahan pangan terutama beras akan terus meningkat sejalan
dengan pertambahan jumlah penduduk. Namun dilain pihak upaya peningkatan
produksi beras saat ini terganjal oleh berbagai kendala, seperti terjadinya
konversi lahan sawah subur yang masih terus berjalan, penyimpangan iklim (anomali
iklim), gejala kelelahan teknologi (technology fatique), penurunan
kualitas sumberdaya lahan (soil sickness) yang berdampak terhadap
penurunan dan atau pelandaian produktivitas (Kaniawati, dkk, Tanpa tahun).
Laju
peningkatan produksi bahan pangan nasional terutama beras berjalan relatif
lambat dibandingkan dengan kebutuhan pangan rakyat yang terus meningkat akibat
pertumbuhan penduduk. Hal ini terbukti dengan masih diperlukannya impor beras
walaupun hanya sekitar 262 ribu ton pada tahun 2006 (Departemen Pertanian
2008), serta sesekali terjadi kekurangan bahan pangan di wilayah-wilayah kantong
kemiskinan, seperti di pelosok NTT, NTB, dan Papua. Kelambatan peningkatan
produksi pangan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain konversi
lahan sawah dan persaingan penggunaan air, selain bencana banjir dan longsor. Untuk
saat ini Indonesia hanya mampu menghasilkan 46 juta ton beras dan mengimpor 2-3
juta ton beras tiap tahunnya guna memenuhi kebutuhan domestik (Abdurrachman,
2008).
Di Jawa Timur
komoditas padi diusahakan pada lahan sawah seluas 1,1 juta ha melalui pola
tanam padi-padi-padi, padi-padi-palawija, dan padi-palawija-palawija, dengan
rata-rata produktivitas 5,3 ton GKG/ha (Diperta Prop. Jatim,1998). Dari aspek
produk-tivitas ini terdapat kesenjangan yang cukup tinggi antar lokasi, antar
petani dan antar mu-sim. Hal ini memberi indikasi adanya peluang meningkatkan
produktivitas padi melalui pe-nerapan teknologi spesifik lokasi. Peningkatan
produksi padi di Jawa Timur menghadapi beberapa masalah antara lain kesuburan
tanah menurun, terbatasnya sumberdaya air, serta gangguan hamapenyakit (Arifin
dkk. 1998 dalam Mahfud, 2008).
Pencapaian
swasembada berkelanjutan khususnya swasembada pada sub sektor tanaman pangan
rentan terhadap fenomena variabel dan perubahan iklim, sehingga diperlukan
antisipasi untuk mencapai target tersebut.
Kartaatmadja dan Fagi (2000), menyatakan bahwa penanganan masalah secara
parsial yang telah ditempuh selama ini ternyata tidak mampu mengatasi masalah
yang kompleks dan juga tidak efisien. Optimasi produktivitas padi di lahan
sawah merupakan salah satu peluang peningkatan produksi gabah nasional. Hal ini
sangat dimungkinkan bila dikaitkan dengan hasil padi pada agroekosistem ini
masih beragam antar lokasi dan belum optimal. Rata-rata produktivitas hasil
padi yang dicapai saat ini 4,7 ton/ha, sedangkan potensinya dapat mencapai 6 –
7 ton/ha. Belum optimalnya produktivitas padi di lahan sawah, antara lain
disebabkan oleh; a) rendahnya efisiensi pemupukan; b) belum efektifnya
pengendalian hama penyakit; c) penggunaan benih kurang bermutu dan varietas
yang dipilih kurang adaptif; d) kahat hara K dan unsur mikro; e) sifat fisik
tanah tidak optimal; f) pengendalian gulma kurang optimal.
Pembangunan
ekonomi berwawasan ramah lingkungan adalah pembangunan berkelanjutan dibidang
ekonomi yang tidak hanya berorientasi hasil untuk saat ini tetapi juga
berorientasi pada masa depan dengan titik fokus pada keberlangsungan
pelestarian lingkungan, sebagaimana diketahui bahwa barometer keberhasilan
sebuah pembangunan adalah keselarasan antara pertumbuhan ekonomi yang tinggi
dan pembangunan berkesinambungan yang ditandai dengan tidak terjadinya
kerusakan sosial dan kerusakan alam. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi
berwawasan lingkungan harus diterapkan demi keberlanjutan kehidupan karena akan
menjamin keberlanjutan eksistensi alam dan lingkungan hidup. Secara ringkas
dapat dikatakan bahwa pembangunan ekonomi yang semata-mata ditujukan untuk
memperoleh keuntungan tanpa memperhatikan keberlangsungan alam dan lingkungan
akan membawa dampak negatif tidak hanya bagi alam tetapi juga bagi masyarakat.
Salah satu dampak negatif yang ditimbulkan adalah berkurangnya sumberdaya alam,
pencemaran udara akibat polusi industri dan pembangunan infrastruktur yang
identik dengan perusakan alam. Namun, hal
tersebut dapat dicegah dengan menerapkan program pelaksanaan pembangunan
ekonomi yang berwawasan lingkungan (Gupito, 2013).
Ekofarming atau
sistem pertanian ramah lingkungan dan
berkelanjutan merupakan
suatu cara bertani
yang mengandalkan pada
berimbangnya siklus- siklus yang
berlangsung di dalam sebuah ekosistem. Dalam sistem ini penggunaan input kimiawi
sangat dibatasi atau
tidak digunakan sama
sekali. Peran
dekomposer-dekomposer yang hidup di dalam tanah sangat penting artinya dalam
proses penguraian bahan-bahan organik yang sangat bermanfaat untuk memperbaiki
sifat fisika dan kimia tanah. Selain itu adanya musuh-musuh alami organisme pengganggu
tanaman baik berupa predator maupun sifat tertentu dari tanaman merupakan
potensi yang dapat dikembangkan untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman (Hawayati, Tanpa tahun).
Selain terjadinya degradasi lingkungan,
residu bahan kimia tersebut juga terakumulasi
di dalam jaringan tanaman dan tetap bertahan sampai dikonsumsi oleh
manusia. Beberapa jenis pestisida tertentu
memiliki struktur kimia
yang sangat kuat
dan tidak dapat
diuraikan didalam tubuh manusia sehingga dapat bertahan selama
bertahun-tahun. Hal ini sangat beresiko
meracuni tubuh manusia dan merusak organ-organ penting di Adanya dampak negatif
dari penggunaan bahan
kimia ini disadari
oleh petani. Hal ini terlihat dari keadaan lahan pertanaman yang semakin
keras struktur tanahnya sehingga semakin
sulit diolah. Akibatnya petani membutuhkan input berupa pemupukan
yang semakin tinggi
agar produksi dapat
dipertahankan. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya biaya produksi yang
harus dikeluarkan oleh petani. Selain itu dampak lain yang terjadi adalah
menurunnya jumlah biota tanah yang hidup di areal pertanaman dibandingkan
sebelumnya.
Terjadinya penurunan
kualitas lingkungan dan
pencemaran terhadap
produk-produk yang dihasilkan akibat penggunaan bahan kimia secara berlebihan
terjadi karena kurangnya informasi yang
dimiliki petani tentang cara bercocok tanam yang benar dan berkelanjutan.
Petani belum mengetahui cara mengidentifikasi
kekuatan dan kelemahan
dari ekosistem yang
ada dilahan pertanian mereka.
Akibatnya banyak komponen
lingkungan yang bermanfaat tanpa sengaja
justru dibuang sementara
komponen yang berbahaya
justru dipertahankan.
Salah satu upaya
yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi bahan pangan ini adalah dengan
memanfaatkan lahan kering yang tersedia cukup luas di luar Pulau Jawa. Di
Indonesia terdapat sekitar 47,6 juta hektar (32,4%) merupakan lahan kering yang
umumnya didominasi oleh tanah masam Podsolik Merah Kuning (Karama dan
Abdurrachman,
1993 dalam Purnamaningsih, 2008).
Pertanian
organik merupakan salah satu alternative menuju pembangunan pertanian yang
ramah lingkungan dan berkelanjutan. Tujuan utama dari sistem pertanian organik
adalah untuk menghasilkan produk bahan pangan yang aman bagi kesehatan produsen
maupun konsumen dan tidak merusak lingkungan. Pengertian organik menurut FAO
adalah ” a holistic production management system which promotes and enhances agroecosistern
healyh, including biodiversity, biological cycles, and soil biological
activity. Pertanian organic merupakan suatu sistem pertanian berkelanjutan yang
diakui oleh Komisi Eropa (European Commission) dan Agricultural Council pada
Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1992 (Jolly, 2000). Menurut
Winarno dalam Bahar (2008) konsumen dalam dan luar negeri, khususnya di Negara maju,
seperti Eropa, Jepang, dan Amerika sangat tertarik akan pangan organik
dikarenakan motivasi kesehatan, produknya lebih segar, rasanya enak, bagus teksturnya
dan memiliki sifat spesifik yang dapat memberikan kepuasan serta kenikmatan
tersendiri. Di beberapa negara maju, pertanian organik telah menunjukkan porsi
yang cukup baik dalam system produksi pangan (Budiyanto, 2011).
Sistem
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) pada Padi Sawah
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah merupakan sebuah inovasi untuk menunjang peningkatan produksi padi.
Hal ini dilatarbelakangi karena beras sebagai bahan pangan yang berasal dari
padi merupakan bahan pangan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia. Oleh
karena itu sebagai bahan pangan pokok utama padi memegang posisi yang strategis
untuk dikembangkan. PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah adalah suatu
pendekatan inovatif dalam upaya peningkatan efisiensi usaha tani padi sawah
dengan menggabungkan berbagai komponen teknologi yang saling menunjang dan
dengan memperhatikan penggunaan sumber daya alam secara bijak agar memberikan
pengaruh yang lebih baik terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman (Sekar,
2012).
Menurut Sekar (2012), Pengelolaan Tanaman
Terpadu atau PTT padi sawah bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tanaman
dari segi hasil dan kualitas melalui penerapan teknologi yang cocok dengan
kondisi setempat (spesifik lokasi) serta menjaga kelestarian lingkungan. Dengan
meningkatnya hasil produksi diharapkan pendapatan petani akan meningkat. Sebagai
salah satu upaya maupun inovasi untuk meningkatkan produktivitas tanaman
penerapan PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah didasarkan pada empat
prinsip, yaitu:
·
Terpadu ; bukan merupakan
teknologi maupun paket teknologi tetapi merupakan suatu pendekatan agar
sumberdaya tanaman, tanah dan air dapat dikelola dengan sebaik-baiknya secara
terpadu.
·
Sinergis ; memanfaatkan teknologi
pertanian yang sudah dikembangkan dan diterapkan dengan memperhatikan unsur keterkaitan
sinergis antar teknologi.
·
Spesifik lokasi ; memperhatikan
kesesuaian teknologi dengan lingkungan fisik maupun sosial budaya dan ekonomi
pertanian setempat.
·
Partisipatif ; petani turut
berperan serta dalam memilih dan menguji teknologi yang sesuai dengan kemampuan
petani dan kondisi setempat melalui proses pembelajaran dalam bentuk
laboratorium lapangan.
Dalam penerapan PTT (Pengelolaan Tanaman
Terpadu) padi sawah tidak lagi dikenal rekomendasi untuk diterapkan secara
nasional karena petani secara bertahap dapat memilih sendiri komponen teknologi
yang paling sesuai dengan kemampuan petani dan keadaan setempat untuk
diterapkan dengan mengutamakan efisiensi biaya produksi dan komponen teknologi
yang saling menunjang untuk diterapkan.
Memperhatikan
dampak di atas, perlu mengkaji pendekatan usahatani padi
melalui pengelolaan tanaman secara terpadu
(PTT). Komponen PTT adalah pemberian air irigasi secara berganti
(“intermitten”), tanam bibit muda dengan satu tanaman per lubang, penambahan
bahan organik, dan pemberian pupuk N berdasarkan bagan warna daun atau BWD
(Anonim, 2001). Menurut Sumarno (1997) PTT bertujuan: (1) memperoleh kepastian
keberhasilan panen dengan produktivitas optimal/maksimal, (2) penggunaan
masukan efisien, (3) resiko gagal
kecil dan mutu produk tinggi, serta
(4) menjaga kelestarian lingkungan. (Mahfud, 2008).
SRI (System of
Rice Intensification) merupakan metode budidaya tanaman padi secara intensif,
efisien, dan ramah lingkungan. Budidaya tanaman padi sistem SRI dilakukan
dengan proses manajemen sistem perakaran yang berbasis pada pengelolaan tanah,
tanaman, dan air sehingga tidak merusak lingkungan. Metode SRI hemat air dan
tidak menggunakan pupuk an-organik (Ferdinan dan Harmailis, 2007: Sumardi et
al., 2007). Masdar (2006) mengemukakan dalam sistem SRI pendekatan yang
dilakukan melalui perlakuan: (1) Jumlah bibit per titik tanam (1 bibit), dan (2) Umur bibit pindah ke
lapangan adalah 1 minggu. Selanjutnya Purwasasmita (2008) mengemukakan bahwa
metode SRI dapat menghemat penggunaan air sampai 40-50%, karena tanaman padi
tidak perlu digenangi terus menerus. Waktu tanam atau pemindahan bibit ke
lapangan lebih awal 10-15 hari dibandingkan dengan metode konvensional
terhitung masa persemaian, penggunaan benih lebih hemat karena satu benih per
lubang tanam (Agustamar dan Syarif, 2007). Budidaya tanaman padi dengan sistem
SRI yang telah dikembangkan di sejumlah daerah di Indonesia terbukti mampu
meningkatkan produksi padi (Pringadi et al., 2002 dan Anugrah et al, 2008 dalam Zarhrah, 2011).
Komponen Teknologi PTT Padi Sawah
Menurut Sekar (2012), Komponen teknologi PTT
(Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah dirakit berdasarkan kajian kebutuhan
dan peluang (KKP) yang akan mempelajari permasalahan yang dihadapi petani dan
cara-cara mengatasi permasalahan tersebut dalam upaya meningkatkan produksi
sehingga komponen teknologi yang dipilih akan sesuai dengan kebutuhan setempat.
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah menyediakan beberapa pilihan
komponen teknologi yang dikelompokkan menjadi komponen teknologi dasar dan
komponen teknologi pilihan. Komponen teknologi dasar adalah sekumpulan
teknologi yang dianjurkan untuk diterapkan semuanya sehingga diharapkan dapat
meningkatkan produksi dengan input yang efisien sebagaimana menjadi tujuan dari
PTT. Komponen teknologi dasar PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah
meliputi :
·
Penggunaan varietas padi unggul
atau varietas padi berdaya hasil tinggi dan bernilai ekonomi tinggi yang sesuai
dengan karakteristik lahan, lingkungan dan keinginan petani
·
Benih bermutu dan
berlabel/bersertifikat
·
Pemupukan berimbang berdasarkan
kebutuhan tanaman dan status hara tanah
·
Pengendalian hama dan penyakit
secara terpadu (PHT).
Sedangkan komponen teknologi pilihan adalah
teknologi-teknologi penunjang yang tidak mutlak harus diterapkan tetapi lebih
didasarkan pada spesifik lokasi maupun kearifan lokal dan telah terbukti serta
berpotensi meningkatkan produktivitas. Secara spesifik lokasi dan kearifan
lokal komponen teknologi ini dapat diperoleh dari sumber daya alam yang
tersedia ataupun dari pengalaman petani sendiri. Komponen teknologi pilihan PTT
(Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah meliputi :
·
Pengolahan tanah sesuai musim dan
pola tanam
·
Penggunaan bibit muda (< 21
HSS)
·
Tanam dengan jumlah bibit terbatas
yaitu antara 1 – 3 bibit perlubang
·
Pengaturan populasi tanaman secara
optimum (jajar legowo)
·
Pemberian bahan organik berupa kompos atau
pupuk kandang serta pengembalian jerami ke sawah sebagai pupuk dan pembenah
tanah
·
Pengairan berselang (intermiten
irrigation) secara efektif dan efisien
·
Pengendalian gulma dengan landak
atau gasrok
·
Panen dan penanganan pasca panen
yang tepat.
Perpaduan komponen teknologi dasar dan komponen teknologi pilihan ini
diharapkan dapat memberikan jalan keluar terhadap permasalahan produktivitas
padi dengan didasarkan pada pendekatan yang partisipatif.
Pembahasan
Penggunaan
input kimia dengan dosis yang tinggi dan jangka waktu yang lama menyebabkan
terjadinya akumulasi residu bahan kimia berbahaya di dalam tanah dan berpotensi
mencemari lingkungan. Fenomena lain yang timbul sebagai akibat langsung dari
penggunaan bahan kimia ini adalah
menurunnya kualitas fisika dan kimia tanah yang berdampak pada berkurangnya
keragaman hayati dan musuh alami organisme pengganggu tanaman serta munculnya
hama-hama yang resisten. Pertanian berkelanjutan (sustainable
agriculture) adalah pemanfaatan sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable
resources) dan sumberdaya tidak dapat diperbaharui (unrenewable
resources), untuk proses produksi pertanian dengan menekan dampak negatif
terhadap lingkungan seminimal mungkin. Keberlanjutan yang dimaksud meliputi :
penggunaan sumberdaya, kualitas dan kuantitas produksi, serta lingkungannya.
Proses produksi pertanian yang berkelanjutan akan lebih mengarah pada
penggunaan produk hayati yang ramah terhadap lingkungan.
Ekofarming atau
sistem pertanian ramah
lingkungan dan berkelanjutan merupakan suatu
cara bertani yang
mengandalkan pada berimbangnya
siklus- siklus yang berlangsung di dalam sebuah ekosistem. Dalam sistem
ini penggunaan input kimiawi sangat
dibatasi atau tidak
digunakan sama sekali.
Peran dekomposer-dekomposer yang hidup di dalam tanah sangat penting
artinya dalam proses penguraian bahan-bahan organik yang sangat bermanfaat
untuk memperbaiki sifat fisika dan kimia tanah. Selain itu adanya musuh-musuh
alami organisme pengganggu tanaman baik berupa predator maupun sifat tertentu
dari tanaman merupakan potensi yang dapat dikembangkan untuk pengendalian hama
dan penyakit tanaman.
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) adalah
pendekatan dalam budidaya tanaman dan berperan penting dalam meningkatkan
produksi padi dalam beberapa tahun terakhir. Keberhasilan program P2BN
(Peningkatan Produksi Beras Nasional) yang diimplementasikan sejak tahun 2007
tentu tidak dapat dipisahkan dari pengembangan PTT Padi Sawah. Berdasarkan
hasil analisis data yang dilakukan tingkat penerapan PTT padi sawah oleh
Watemin (2012), berdasarkan hasil tabel diatas dapat diketahui komponen
komponen dalam PTT yang dapat diterapkan pada budidaya tanaman padi sawah, yaitu:
a.
Varietas
unggul baru
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah
pemilihan varietas merupakan salah satu komponen utama yang mampu meningkatkan
produktivitas padi. Varietas padi yang akan ditanam dipilih varietas unggul
baru (VUB) yang mampu beradaptasi dengan lingkungan untuk menjamin pertumbuhan
tanaman yang baik, tahan serangan penyakit, berdaya hasil dan bernilai jual
tinggi serta memiliki kualitas rasa yang dapat diterima pasar. Varietas unggul
baru (VUB) dapat berupa padi inbrida seperti ciherang, mekongga, inpari (10,
11,13) atau hibrida seperti rokan, hipa 3, bernas super dan intani. Tanam
varietas unggul baru ini secara bergantian untuk memutus siklus hidup hama dan
penyakit.
b.
Benih
bermutu dan berlabel
Benih bermutu adalah benih dengan tingkat
kemurnian dan daya tumbuh yang tinggi, berukuran penuh dan seragam, daya
kecambah diatas 80 % (vigor tinggi), bebas dari biji gulma, penyakit dan hama
atau bahan lain. Gunakan selalu benih yang telah memiliki sertifikasi atau
label untuk mendapatkan benih dengan tingkat kemurnian tinggi dan berkualitas
atau benih bermutu yang diproduksi oleh petani. PTT (Pengelolaan Tanaman
Terpadu) padi sawah menganjurkan untuk menyeleksi atau memilih benih bermutu
agar didapatkan benih yang benar-benar berkualitas (bernas) dan vigor tinggi
dengan cara membuat larutan garam dapur (30 gram garam dapur dalam 1 liter air)
atau larutan pupuk ZA (1kg pupuk ZA dalam 2,7 liter air). Benih dimasukkan ke
dalam larutan garam atau pupuk ZA (volume larutan 2 kali volume benih) kemudian
diaduk dan benih yang mengambang atau terapung di permukaan larutan dibuang.
Cara sederhana dapat dilakukan dengan
merendam benih dalam larutan garam dapur menggunakan indikator telur. Telur
mentah (bisa telur ayam atau bebek) dimasukkan ke dalam air, kemudian masukkan
garam sedikit demi sedikit sambil diaduk sampai telur terapung ke permukaan.
Kemudian telur diambil dan benih dimasukkan ke dalam larutan garam. Benih yang
mengapung dibuang dan benih yang tenggelam selanjutnya dicuci sampai bersih
dari garam untuk disemai. Untuk keperluan penanaman seluas 1 hektar benih yang
dibutuhkan kurang lebih sebanyak 20 kg. Benih bernas (yang tenggelam) dibilas
dengan air sampai bersih dari garam kemudian direndam dengan air bersih selama
24 jam. Selanjutnya diperam dalam karung atau wadah lainnya selama 48 jam dan
dijaga kelembabannya dengan membasahi wadah dengan air. Untuk benih padi
hibrida tidak diberi perlakuan perendaman dalam larutan garam tetapi langsung
direndam dalam air dan selanjutnya diperam.
Lahan persemaian untuk 1 hektar luasan
lahan pertanaman sebaiknya 400 meter persegi (4% dari luas tanam) dengan lebar
bedengan 1 – 1,2 meter dan antar bedengan dibuat parit sedalam 25 – 30 cm. Saat
pembuatan bedengan taburkan bahan organik 2 kg /meter persegi seperti kompos,
pupuk kandang atau campuran berbagai bahan antara lain kompos, pupuk kandang,
serbuk kayu, abu dan sekam padi. Tujuan pemberian bahan organik ini untuk
memudahkan pencabutan bibit padi sehingga kerusakan akar bisa dikurangi.
c.
Peningkatan
Populasi dengan Jajar Legowo
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu)
padi sawah menganjurkan untuk mengatur jarak dan populasi tanaman dengan
menerapkan sistem tanam jajar legowo. Sistem
tanam jajar legowo adalah sistem tanam dengan pengaturan jarak tanam tertentu
sehingga pertanaman akan memiliki barisan tanaman yang diselingi oleh barisan
kosong dimana jarak tanam pada barisan pinggir setengah kali jarak tanam antar
barisan. PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah menganjurkan penerapan
sistem tanam jajar legowo karena adanya keuntungan dan kelebihan yang lebih
dibanding dengan sistem tanam konvensional (tegel) diantaranya yaitu :
- Adanya efek tanaman pinggir
- Sampai batas tertentu semakin tinggi populasi tanaman semakin banyak jumlah malai persatuan luas sehingga berpeluang menaikkan hasil panen
- Terdapat ruang kosong untuk pengaturan air, saluran pengumpulan keong atau mina padi
- Pengendalian hama, penyakit dan gulma menjadi lebih mudah
- Dengan areal pertanaman yang lebih terbuka dapat menekan hama dan penyakit
- Penggunaan pupuk lebih berdaya guna.
d.
Pemupukan
Berimbang
PTT (Pengelolaan
Tanaman Terpadu) padi sawah menerapkan pemupukan berimbang secara efektif dan
efisien sesuai kebutuhan tanaman dan ketersediaan hara dalam tanah. Pemupukan
berimbang adalah pemberian berbagai unsur hara dalam bentuk pupuk untuk
memenuhi kekurangan hara yang dibutuhkan tanaman berdasarkan tingkat hasil yang
ingin dicapai dan hara yang tersedia dalam tanah. Unsur hara yang dibutuhkan
tanaman adalah unsur N (nitrogen ; dalam bentuk pupuk urea), P (phospat ; dalam
bentuk pupuk TSP/SP36) dan K (kalium ; dalam bentuk pupuk KCL). Kebutuhan N
tanaman dapat diketahui dengan cara mengukur tingkat kehijauan warna daun padi
menggunakan bagan warna daun (BWD). Bagan warna daun adalah sebuah alat untuk
mengukur tingkat kebutuhan N tanaman dengan mengukur skala tingkat kehijauan
warna daun sehingga dapat diketahui jumlah kebutuhan unsur hara N tanaman.
Nilai pembacaan
bagan warna daun (BWD) digunakan untuk mengoreksi dosis pupuk N yang telah
ditetapkan sehingga menjadi lebih tepat sesuai dengan kondisi tanaman.
Pemberian pupuk awal N diberikan pada umur tanaman sebelum 14 HST ditentukan
berdasarkan tingkat kesuburan tanah. Dosis pupuk awal N (urea) untuk padi
varietas unggul baru adalah 50 – 75 kg/ha, sedangkan untuk padi tipe baru
dengan dosis 100 kg/ha. Pembacaan BWD hanya dilakukan menjelang pemupukan kedua
(tahap anakan aktif ; umur 21 – 28 HST) dan pemupukan ketiga (tahap primordia ;
umur 35 – 40 HST). Khusus untuk padi hibrida dan padi tipe baru pembacaan BWD
juga dilakukan pada saat tanaman dalam kondisi keluar malai dan 10 % berbunga.
Pemupukan
dilakukan dengan cara disebar/ditabur merata di seluruh permukaan tanah. Urea
merupakan pupuk yang mudah larut dalam air sehingga pada saat pemupukan
sebaiknya saluran pemasukan dan pengeluaran air ditutup. Pemupukan P dan K
disesuaikan dengan hasil analisis status hara tanah dan kebutuhan tanaman.
Status hara tanah P dan K dapat ditentukan dengan perangkat uji tanah sawah
(PUTS). Tiap wilayah telah memiliki dosis rekomendasi pemupukan P dan K yang
berdasarkan pada uji tanah sawah yang dilakukan oleh instansi terkait (Balai
Penyuluhan/Dinas Pertanian).
e.
Pengendalian
OPT melalui PHT
Pengendalian hama dan penyakit secara terpadu (PHT)
merupakan suatu pendekatan pengendalian yang memperhitungkan faktor ekologi
sehingga pengendalian dilakukan agar tidak terlalu mengganggu keseimbangan alam
dan tidak menimbulkan kerugian yang besar. Pengendalian hama dan penyakit
terpadu (PHT) merupakan perpaduan berbagai cara pengendalian hama dan penyakit
diantaranya dengan melakukan monitoring populasi hama dan kerusakan tanaman
sehingga penggunaan teknologi pengendalian dapat menjadi lebih tepat. Pengendalian
hama dan penyakit terpadu (PHT) dapat dilakukan dengan menggunakan strategi
diantaranya :
- Gunakan varietas tahan hama dan penyakit
- Tanam tanaman yang sehat
- Memanfaatkan musuh alami
- Pengendalian secara mekanik (menggunakan alat) dan fisik (menangkap)
- Penggunaan pestisida hanya jika diperlukan dan dilakukan tepat sesuai dosis, sasaran dan waktu.
f.
Pemberian
pupuk organik
Salah satu hasil pemikiran
mengenai peningkatan kemampuan tanah adalah revolusi hijau yang dikembangkan di
Indonesia pada awal 1970-an. Pemikiran tersebut telah mampu mengubah
sikap petani untuk memanfaatkan teknologi pertanian modern, seperti pupuk
kimia, pestisida perlindungan dari hama dan penggunaan bibit unggul. Pada
dasarnya penggunaan teknologi tersebut ditujukan untuk meningkatkan
produktivitas tanah. Dalam kenyataannya, memang revolusi hijau tersebut telah
mampu mencapai tujuannya yaitu peningkatan produktivitas, khususnya pada sub
sektor pangan. Akan tetapi, revolusi hijau tersebut telah menimbulkan dampak
negatif pada kondisi tanah itu sendiri yaitu adanya gangguan keseimbangan unsur
hara dalam tanah bagi kesehatan manusia kandungan residu pestisida dalam produk
pangan yang menggunakan pupuk kimia membahayakan tubuh manusia.
Tingkat penggunaan pupuk organik
untuk petani sampel di Kecamatan Kebasen adalah sebesar 66,67%. Belum semua
petani sampel di Kecamatan Kebasen melakukan pemberian pupuk organik disebabkan
karena kesulitan petani untuk memperoleh bahanbahan yang dapat digunakan
sebagai pupuk organik. Kalaupun tersedia bahan-bahan yang dapat digunakan
sebagai pupuk organik seperti jerami padi, kendala yang dihadapi adalah belum
semua petani mampu mengolah bahan jerami tersebut menjadi pupuk organik yang
siap untuk digunakan.
g.
Pengolahan
tanah tepat
Pengolahan tanah dapat dilakukan secara
sempurna dengan dua kali pembajakan dan satu kali garu atau minimal, atau tanpa
olah tanah. Pemilihan cara yang akan dilakukan disesuaikan dengan keperluan dan
kondisi. Faktor yang menentukan adalah kemarau panjang, pola tanam dan
jenis/struktur tanah. Dua minggu sebelum pengolahan tanah, taburkan bahan
organik secara merata di atas hamparan sawah. Bahan organik yang digunakan
dapat berupa pupuk kandang (2ton/ha) atau kompos jerami (5 ton/ha).
h.
Tanam
bibit muda <21 hari
Pada daerah endemik keong untuk mengantisipasi
serangan keong dapat menggunakan bibit lebih dari 21 HSS tetapi dianjurkan
tidak lebih dari 25 HSS. Masa kritis serangan keong berada pada 21 hari setelah
sebar dan 10 hari setelah pindah tanam. Tanam dilakukan dengan kondisi lahan
jenuh air (ketinggian air kurang lebih 2 cm dari permukaan tanah macak-macak)
dengan jumlah bibit yang ditanam tidak lebih dari 3 bibit per rumpun. Teknologi penanaman padi sawah dengan umur bibit yang relatif
muda sudah banyak berkembang pada tingkat petani di Philipina teknologi ini
memiliki keunggulan antara lain:
- pemindahan bibit pada umur yang lebih muda dapat mengurangi
kerusakan bibit,
- tanaman tidak mengalami stagnasi, dan - pertumbuhan tanaman lebih cepat.
Penggunaan bibit padi yang
berumur lebih dari 30 hari setelah semai (hss) akan memberikan hasil produksi
yang kurang baik karena:
- bibit yang digunakan relatif tua sehingga beradaptasi lambat
(stagnasi pertumbuhan setelah tanam relatif lama),
- tidak seragam (mempunyai anakan yang tidak seragam),
- perakaran dangkal
dan rusak menyebabkan pertumbuhan tanaman tidak berkembang dengan baik setelah
tanaman dipindah.
i.
Tanam
1- 3 bibit/ lubang
Semua petani yang dijadikan sampel dalam penelitian ini, semuanya
(100%) sudah menerapkan penanaman bibit sebanyak 1-3 per lubang tanam. Manfaat
penting yang diperoleh dengan tanam 1-3 bibit per lubang tanam adalah:
- Untuk mengurangi persaingan antar bibit dalam 1 rumpun
- Memaksimalkan pencapaian jumlah anakan
- Memaksimalkan peluang tercapainya potensi hasil suatu varietas
- Dapat menghemat penggunaan benih Kondisi tersebut di atas
sejalan dengan
j.
Pengairan
berselang
Pengairan dilakukan dengan sistem
pengairan berselang (intermittent irrigation). Pengairan berselang adalah
pengaturan kondisi sawah dalam kondisi kering dan tergenang secara bergantian
yang bertujuan untuk :
- Menghemat air irigasi sehingga areal yang dapat diairi lebih luas
- Memberi kesempatan akar tanaman memperoleh udara lebih banyak sehingga dapat berkembang lebih dalam karena akar yang dalam dapat menyerap unsur hara dan air yang lebih banyak
- Mencegah timbulnya keracunan besi
- Mencegah penimbunan asam organik dan gas hidrogen sulfida yang menghambat perkembangan akar
- Mengaktifkan jasad renik (mikrobia tanah) yang bermanfaat
- Mengurangi kerebahan
- Mengurangi jumlah anakan yang tidak produktif (tidak menghasilkan malai dan gabah)
- Menyeragamkan pemasakan gabah dan mempercepat waktu panen
- Memudahkan pembenaman pupuk ke dalam tanah (lapisan olah)
- Memudahkan pengendalian hama keong mas, mengurangi penyebaran hama wereng coklat dan penggerek batang serta mengurangi kerusakan tanaman padi karena hama tikus.
Teknis penerapan pengairan berselang
dilakukan pada saat tanaman berumur 3 HST (hari setelah tanam) dimana petakan
sawah diairi dengan tinggi genangan 3 cm dan selama 2 hari berikutnya tidak ada
penambahan air sampai kondisi air di petakan habis dan tanah mengering sedikit
retak. Baru pada hari ke 4 (7 HST) petakan sawah diairi kembali hingga genangan
air setinggi 3 cm dan tidak ada penambahan air sampai kondisi air dipetakan
habis dan tanah menjadi mengering sedikit retak kembali. Cara ini dilakukan terus
sampai fase anakan maksimal. Pada saat mulai fase pembentukan malai (bunting)
sampai pengisian biji petakan sawah digenangi terus. Petakan dikeringkan
kembali saat 10 – 15 hari sebelum panen.
Pada tanah yang cepat menyerap air
atau berpasir selang waktu pengairan harus diperpendek. Apabila ketersediaan
air selama satu musim tanam kurang mencukupi selang waktu pengairan dapat
diperpanjang yaitu dengan selang waktu 5 hari. Pengairan berselang secara
efektif dan efisien hanya dapat dilakukan pada areal sawah irigasi teknis yang
dapat dengan mudah mengatur masuk dan keluarnya air pada areal persawahan. Pada
sawah-sawah yang sistem drainasenya tidak baik (sulit dikeringkan) atau sawah
tadah hujan pengairan berselang (intermittent irrigation) tidak perlu diterapkan.
k.
Penyiangan
dengan alat (Landak/ grosok)
Pengendalian gulma atau penyiangan adalah kegiatan
membersihkan pertanaman dari rumput dan tanaman yang tidak dikehendaki
keberadaannya (gulma) di areal pertanaman karena dapat mengganggu perkembangan
tanaman pokok. Penyiangan dapat dilakukan dengan cara mencabut gulma dengan
tangan, menggunakan alat gasrok (landak) atau menggunakan
herbisida.
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah lebih
menganjurkan melakukan penyiangan dengan menggunakan alat gasrok karena
sinergis dengan pengelolaan lainnya dan lebih memiliki keuntungan yaitu :
- Ramah lingkungan
- Hemat tenaga kerja sehingga lebih ekonomis dibandingkan dengan penyiangan menggunakan tangan
- Memberikan sirkulasi udara ke dalam tanah sehingga dapat merangsang pertumbuhan akar tanaman
- Apabila dilakukan bersamaan atau segera setelah pemupukan akan membenamkan pupuk ke dalam tanah sehingga pemberian pupuk menjadi efisien.
Penyiangan menggunakan gasrok dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut :
- Penyiangan dilakukan saat tanaman berumur 10 – 15 HST
- Dianjurkan dilakukan dua kali, dimulai pada saat tanaman berumur 10 – 15 HST dan diulangi 10 – 25 hari kemudian
- dilakukan pada kondisi air macak-macak dengan ketinggian 2 – 3 cm
- Gulma yang terlalu dekat dengan tanaman dicabut dengan tangan
- Dilakukan dua arah yaitu diantara dan di dalam barisan tanaman.
Pengendalian gulma atau penyiangan
secara manual hanya efektif dilakukan apabila air di petakan sawah dalam
kondisi macak-macak atau tanah jenuh air. Jika kondisi tidak memungkinkan
dilakukan penyiangan/pengendalian gulma secara manual dan populasi gulma sudah
tinggi maka pengendalian gulma dapat dilakukan dengan menggunakan herbisida.
l.
Panen
tepat waktu (menggunakan alat)
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah
sangat memperhatikan proses penanganan panen dan pasca panen. Panen dan pasca
panen harus ditangani secara baik dan benar karena penanganan panen dan pasca
panen yang tidak baik dan benar dapat menyebabkan kehilangan hasil 4 – 18 %.
Untuk mendapatkan butir padi dan beras dengan kualitas baik perlu memperhatikan
ketepatan waktu panen. Panen terlalu cepat dapat menimbulkan prosentase butir
hijau tinggi yang berakibat sebagian butir padi tidak berisi atau rusak saat
digiling. Panen terlambat menyebabkan hasil berkurang karena butir padi mudah
lepas dari malai dan tercecer di sawah atau beras pecah saat digiling. Umur
tanaman padi mungkin berbeda antara varietas satu dengan varietas yang lainnya
sehingga hal ini juga perlu diperhatikan. Hitung sejak padi berbunga biasanya
panen dilakukan pada 30 s/d 35 hari setelah padi berbunga. Jika malai telah
menguning 95 % segera lakukan pemanenan.
Panen dilakukan dengan cara memotong padi
menggunakan sabit bergerigi 10 – 15 cm dari atas permukaan tanah atau dari
pangkal malai jika akan dirontok dengan power thresser. Panen sebaiknya
dilakukan secara berkelompok (15 – 20 orang) yang dilengkapi dengan alat
perontok. Dengan cara ini maka tingkat kehilangan hasil pada saat panen dapat
dikurangi. Gunakan plastik atau terpal sebagai alas padi yang baru dipotong dan
ditumpuk sebelum dirontok. Sesegera mungkin padi dirontokan, apabila panen
dilakukan pada waktu pagi hari sebaiknya sore harinya segera dirontokkan karena
perontokkan yang dilakukan lebih dari dua hari dapat menyebabkan kerusakan
beras.
Perlu diperhatikan juga jika perontokkan padi
dilakukan dengan cara tradisional (di-gepyok) maka gunakan alas dari
plastik atau terpal yang lebarnya mencukupi dan bagian pinggir plastik atau
terpal dilipat keatas yang berfungsi sebagai dinding untuk menahan butir padi
terlempar keluar dari alas sehingga dapat mengurangi kehilangan hasil. Proses
selanjutnya adalah penanganan pasca panen. Gabah yang sudah dirontokkan dijemur
di atas lantai jemur atau jika tidak ada bisa menggunakan terpal. Gabah dijemur
dengan ketebalan 5 – 7 cm dan dilakukan pembalikan setiap 2 jam sekali hingga
kering. Gabah kering jika tidak langsung digiling harus disimpan di tempat yang
bersih dalam lumbung/gudang yang bebas hama dan memiliki sirkulasi udara yang
baik. Gabah yang akan dikonsumsi agar diperoleh beras dengan kualitas baik
disimpan dengan kadar air 14 %. Sedangkan gabah yang akan digunakan sebagai
benih disimpan dengan kadar air 12 %.
Gabah yang akan disimpan dalam waktu lama harus
memiliki kadar air yang lebih rendah. Untuk penyimpanan 4 – 6 bulan gabah harus
memiliki kadar air 12 % dan apabila disimpan selama 7 – 12 bulan kadar air
gabah 11 %. Yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan gabah adalah tempat
penyimpanan dan wadah yang digunakan untuk mengemas gabah. Gudang atau tempat
penyimpanan harus bersih dari kotoran dan hama, dapat melindungi gabah dari
hama seperti tikus dan memiliki sirkulasi udara yang baik.
Wadah pengemas dapat menggunakan kemasan karung, kemasan plastik dan
kemasan yute. Kemasan harus dapat melindungi gabah dari hama, kerusakan fisik
terhadap goncangan dan mudah dipindahkan. Simpan gabah dengan ditata rapi
secara bertumpuk dan mendapatkan sirkulasi udara yang baik. Sebaiknya kemasan
atau karung disimpan tidak langsung menempel pada dinding karena dapat
mempengaruhi kelembaban padi dalam kemasan. Pencegahan dan pengendalian hama
dapat dilakukan dengan cara fumigasi. Penggunaan insektisida jangan langsung
disemprotkan pada butiran gabah karena dapat mempengaruhi kualitas gabah. Gabah
yang sudah disimpan jika akan digiling diangin-anginkan terlebih dahulu sebelum
digiling untuk menghindari butir beras pecah.
Assalamualaikum..
BalasHapusSaya mau tanya dong, lahan pertanian tanaman terpadu itu gimna sih, mohon pnjelasannya!